Tugas Softskill - Bab.1 Ekonomi Terpimpin (2)

01/03/2011 21:29

65 Tahun Ekonom Indonesia (Part 2): Ekonomi di Masa Demokrasi Terpimpin


Masa demokrasi terpimpin bisa disebut sebagai masa tersulit bagi ekonom Indonesia. Kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah lebih mengedepankan kepentingan politik presiden daripada kepentingan ekonomi masyarakat. Pada masa ini, para ekonom nampaknya tertekan oleh superioritas Presiden. Sehingga, hampir seluruh kebijakan dan pemikiran ekonom yang dibuat pada masa ini menyesuaikan dengan sistem ekonomi terpimpin ala Soekarno. Ada tiga acuan utama yang dipakai oleh para ekonom untuk membuat kebijakan pada masa itu, pertama Manifesto politik (Manipol) Soekarno, yang nantinya akan menjadi GBHN (Garis besar haluan negara). Kedua, pidato Soekarno yang berjudul “Deklarasi Ekonomi”. Ketiga adalah hasil rancangan rencana pembangunan yang disusun oleh DEPERNAS (diketuai oleh M. Yamin, beranggotakan 70 orang, tapi tidak ada ekonom satupun). Menjadi hal lumrah ketika kita membaca essay ekonomi pada masa itu dan menemukan kalimat-kalimat seperti “….berdasarkan Menifesto politik..” , “….hal ini sesuai dengan isi Deklarasi Ekonomi”, ataupun “….bersumber dari rancangan DEPERNAS”.

Ekonom pada masa itu, entah terpaksa atau tidak, berlomba-lomba menyesuaikan pemikiran dengan apa yang diinginkan oleh sang “panglima tertinggi revolusi” (dalam beberapa essay ekonomi pada masa itu, Soekarno disebut dengan “paduka yang mulia”). Contohnya seperti Sarbini Sumawinata yang mencoba menggagas bagaimana ekonomi sosialis ala Indonesia, dan Soerjadi yang merumuskan sistem moneter yang sesuai dengan ekonomi terpimpin. Penyesuain-penyesuaian seperti itu nampaknya dilakukan oleh semua ekonom pada masa itu, walaupun ada pula sebagian kecil ekonom yang mencoba melakukan kompromisasi antara sistem ekonomi terpimpin dengan ekonomi yang “sedikit” liberal.

Perekonomian pada masa itu mempunyai dua corak utama yaitu, tertutup dan sentralistik. Keluarnya Indonesia dari PBB dan IMF, jelas membuat Indonesia terkucil dari dunia internasional. Jargon Berdikari (Berdiri di bawah kaki sendiri) yang dicanangkan oleh bung karno membuat Indonesia meminggirkan perusahaan asing dan investasi asing. Proses nasionalisasi yang dilakukan secara serentak membuat investor tidak berani untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Hal-hal ini yang membuat ekonomi Indonesia sangat tertutup. Kebijakan ekonomi disusun secara sentralistik oleh sebuah dewan khusus yang bernama dewan ekonomi. Selain itu, arah kebijakan ekonomi harus mengikuti rencana pembangunan semesta 8 tahun (1961-1969) yang dirangcang oleh M. Yamin. Kebijakan pembangunan semesta 8 tahun ini mendapat kritik pedas dari Frans Seda. Beliau mengatakan bahwa kebijakan tersebut lebih merupakan hasil karya imajinasi seorang M. Yamin daripada suatu perencanaan sistematis (Seda, 1992). Selain adanya dewan ekonomi, pemerintah juga mendirikan dewan bahan makanan yang mengatur regulasi dan memonopoli bahan makanan pokok.

 

Kondisi perekonomian pada masa demokrasi terpimpin

Kondisi perekonomian carut marut pada masa itu. Salah satu “penyakit kronis” yang melanda perekonomian Indonesia adalah inflasi. Tahun 1960 inflasi di Indonesia mencapai 21,53%, dan semakin parah pada penghujung masa demokrasi terpimpin yang mencapai 660%. Ironisnya, inflasi ini berasal dari perilaku pemerintah yang melakukan pencetakkan uang dalam jumlah besar, demi membiayai proyek mercusuar bung Karno (pembangunan komplek olahraga senayan, Monas, anggaran militer, dll) dan proyek “sosialis” dari bung Karno (subsidi BBM yang mencapai 20% dari total anggaran, subsidi berbagai komoditas secara berlebihan, dll). Pemerintah membutuhkan uang yang sangat besar untuk membiayai proyek-proyek politik tersebut, sehingga anggaran setiap tahun selalu defisit. Pada tahun 1966 pengeluaran negara mencapai 7 kali lipat dari pemasukan negara (Prawiro, 1966). Untuk menutupi lubang defisit ini pemerintah mengambil jalan pintas dengan melakukan pencetakan uang. Pencetakkan uang ini jelas menambah jumlah uang yang beredar secara drastis. Pada tahun 1960, jumlah uang beredar “hanya” Rp. 47 miliar. Jumlah ini melonjak drastis pada tahun 1966 yang mencapai Rp. 5,3 Triliun. Banyaknya jumlah uang beredar ini menyebabkan banyak orang yang memegang uang. Hal tersebut menyebabkan permintaan meningkat tajam tanpa diikuti dengan kemampuan produksi. Sehingga terjadi kelebihan permintaan dan kelangkaan. Efek selanjutnya mudah ditebak, inflasi yang melambung tinggi. Indonesia juga terus mengalami defisit perdagangan internasional. Pada tahun 1960, Indonesia masih mendapat surplus US $ 97 Juta, akan tetapi, pada tahun 1965, Indonesia mengalami defisit neraca pembayaran US $ 157 juta (Budiman dan Soesatro, 2005).

Eksport Indonesia melemah saat itu, hal ini dikarenakan produktifitas dari industri dalam negeri sangatlah rendah. Di sisi lain, indonesia melakukan import beberapa komoditas dalam jumlah besar. Utang luar negeri Indonesia pun membengkak. Pada tahun 1966 utang mencapai US $ 2.358 juta. Sebagian besar penjamin berasal dari negara blok komunis yang mencapai US $ 1.404 juta, selain itu berasal dari negara barat US $ 587 juta, beberapa negara Asia US $ 261 juta, dan IMF US $ 102 juta (Siahaan, 1996).

 

Menggagas sistem ekonomi terpimpin

Istilah sistem ekonomi terpimpin dicetuskan oleh Soerjadi. Soerjadi memakai nama sistem ekonomi terpimpin karena istilah tersebut dipakai oleh MPRS dan terdapat UU. Soerjadi berpendapat bahwa ekonomi terpimpin adalah kebalikan dari perekonomian liberal. Menurutnya, ekonomi liberal adalah kehidupan ekonomi dimana mekanisme harga dijadikan pedoman dalam proses produksi dan pemerintah tidak turut mempengaruhi perkembangan harga tersebut, dan jika pemerintah turut campur mempengaruhi mekanisme harga, maka sistem ekonomi tersebut disebut ekonomi terpimpin (Soerjadi, 1965). Soerjadi menambahkan bahwa ekonomi terpimpin adalah ekonomi berencana, ekonomi yang digerakkan oleh suatu rencana yang dibikin dan dilaksanakan secara sadar oleh pemerintah untuk menghadapi permasalahan ekonomi.

Bidang moneter pun tidak luput dari sentralitisasi yang terjadi pada masa itu. Sistem moneter yang terpimpin pun mulai digagas. Soerjadi (1963) mengatakan, “perbankan harus diusahakan sistem sentralisasi dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan serta penilaian dari pembiayaan rencana nasional”. Adapun Struktur organisasi dari perbankan pada masa itu adalah primidal, dimana bank sentral memimpin, mengkordinasi, mengawasi serta menilai semua bank dalam pelaksanaan anggaran kredit dan anggaran devisa. Sentralisasi sangat lekat pada masa itu, sektor perbankan pun terkena imbasnya. Seluruh kegiatan perbankan sangat diawasi oleh bank sentral. Dalam pemberian kredit, perbankan diberikan batasan yang sangat tegas oleh bank sentral. Bank umum tidak dapat dengan mudah menyalurkan kreditnya, karena harus mengikuti batasan yang ditetapkan oleh anggaran kredit. Tidak hanya pemabatasan penyaluran kredit, pada masa itu bank asing dilarang untuk beroperasi (sesuai dengan keputusan komisi pembangunan F dari MPRS). Hal ini mungkin efek dari gerakan Berdikari yang dilakukan oleh Soekarno, sehingga seluruh lapisan moneter harus dibawah kendali pribumi.

 

Kritik para ekonom

Sejauh yang saya baca, tidak banyak kritik yang dilancarkan ekonom Indonesia pada masa itu. Entah karena terkungkung oleh sistem, ekonom berusaha untuk menyesuaikan dengan arus ekonomi terpimpin. Walaupun begitu, tetap ada beberapa hal yang di kritik oleh ekonom pada masa itu, salah satunya adalah mekanisme pembentukan harga. Pengaturan harga, saat itu, sangatlah politis. Pemerintah ingin sedemikian rupa harga bisa ditekan pada harga rendah. Sehingga, campur tangan pemerintah sangatlah terasa. Hal ini yang seringkali jadi sasaran kritik ekonom pada masa itu. Sebagian besar ekonom berpendapat bahwa harga jangan selalu di atur oleh pemerintah, melainkan disesuaikan dengan mekanisme pasar. Jika pemerintah membuat standart harga tanpa dibantu oleh sinyal harga pasar maka standart harga yang dibuat cenderung tidak efektif (Sadli, 1960). Sadli (1960), menambahkan “pemerintah harus memilah sektor-sektor mana pemerintah harus langsung turut campur menentukan harga”. Kesimpulan Dapat disimpulkan bahwa kebijakan ekonomi pada masa demokrasi terpimpin sangatlah salah arah. Kebijakan yang mengutamakan rakyat hanya terasa seperti jargon sosialis belaka. Rakyat hidup menderita dan kelaparan. Angka pengangguran, inflasi, dan kemiskinan berlomba-lomba untuk mencapai posisi tertinggi.

Walaupun begitu, tidak semua kebijakan ekonomi yang ada pada masa demokrasi terpimpin itu buruk. Frans Seda mengakui bahwa ada dua hal yang menjadi prestasi ekonomi pada masa Soekarno, pertama berdirinya Pertamina, kedua perbaikan sektor perkebunan. Harus diakui, adanya Pertamina menjadi prestasi besar kebijakan zaman Soekarno. Berdirinya Pertamina berhasil mendobrak monopoli perusahan luar negeri dalam bidang perminyakan nasional. Dalam bidang perkebunan, Soekarno berhasil untuk tidak tunduk pada tekanan politik dan tidak menyerahkan pimpinan dan pembinaan perkebunana kepada PKI (Seda, 1991).

Power tends to corrupt, absolute power tends to corrupt absolutely. Anekdot tersebut nampaknya tepat menggambarkan keadaan ekonomi pada masa demokrasi terpimpin. Terlalu berkuasanya seorang presiden, dan beberapa lembaga (bank sentral, dewan ekonomi, dewan bahan makanan, dll), menyebabkan sistem ekonomi mudah goyah dan digerogoti dengan korupsi yang akut. Mekanisme kontrol sosial yang seharusnya dipegang oleh masyarakat praktis tidak ada, sehingga para pejabat dan birokrat bisa dengan bebas melakukan korupsi dan tindakan penyelewengan uang negara. Hal-hal tersebut bisa menjadi pelajaran yang baik untuk Republik Indonesia kedepannya. Kita jadi memahami, bahwa menumpuk kekuasaan politik dan ekonomi pada satu orang/golongan, tidak akan membuat negara ini menjadi lebih sejahtera. Kedepannya, Indonesia bisa menerapkan sistem yang demokratis, sehingga mekanisme pengawasan dan kontrol sosial bisa berjalan, dan pemerintah tidak berbuat seenaknya dalam merancang suatu kebijakan.

 

 

Sumber : www.google.com

https://ekonomi.kompasiana.com/bisnis/2010/08/25/65-tahun-ekonom-indonesia-part-2-ekonom-di-masa-demokrasi-terpimpin/

 

—————

Back